11 January 2014

Tips makelar dalam islam


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Allah swt menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lainnya, supaya mereka tolong menolong, tukar –menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli, sewa menyewa, bercocok tanam atau perusahaan yang lain-lain baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Sebagai mahluk social yang selalu hidup bermasyarakat, akan saling membutuhkan, saling membantu dalam segala urusan baik dunia maupun akhirat. Maka dalam hal ini islam memberikan suatu solusi didalam upaya memenuhi kehdupannya dengan jalan muamlah. Problematika social dan perdagangan mengantarkan kepada manusia untuk berlomba dalam muamalah yang harus didasarkan pada aturan yang telah ditetapkan allah dalam kitab suci al-qur’an agar mansia satu dengan yang lainnya tidak memakan harta sesamanya dengan cara yang bathil. Jual beli merupkan bagian dari muamalah yang sering kita lakukan dimana kita sedang membutuhkan satua sama lainnya. Dalam uapaya jual beli satu barang atau produk perlu adanya kerjasama antara pihak satu dengan pihak yang lainnya melalui pihak ketiga atau istilah yang popular ialah makelar atau perantara. Sebab seseorag tidak akan dapat sampai ketempat yang dituju jika kita tidak memakai perantara. Perantara itu lah yang sangat penting untuk diajak kerjasama dalam muamalah hal ini menunjukan bahwa kita sebagai mahluk social akan selalu membutuhkan satu sama lainnya. Maka kerjasama anatara pihak makelar itu harus dijalankan dengan benar agar terciptanya keharmonsan dalam muamalah.

B. Identifikasi masalah
Dari latar belakang tersebut ,maka masalah yang akan dbahas dalam makalah ini ialah :
Apa kegunaan dari makelar dalam jual beli !
Apa hukum jual beli teraksa dan apa pula yang dimaksud jialah


BAB II
PRAKTEK MAKELAR, JUAL BELI DAN JI’ALAH
A. Pengertian Makelar
Makelar dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perantara dalam bidang jual beli. Makelar berasal dari bahasa arab, yaitu samsarah yang berarti perantara perdagangan atau perantara antarapenjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. (Zuhdi, 1993: 121) Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah atau mencari keuntungan sendiri tanpa menanggung resiko. Dengan kata lain, makelar itu ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan terlaksananya jual beli tersebut. (Mujtaba, 2007: 239)
Dalam persoalan ini, kedua belah pihak mendapat manfaat. Bagi makelar (perantara) mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa dari hasil pekerjaannya itu. Demikian juga orang yang memerlukan jasa mereka, mendapat kemudahan, karena ditangani oleh orang yang mengerti betul dalam bidangnya. Pekerjaan semacam ini, mengandung unsur tolong menolong.  Dengan demikian pekerjaan tersebut tidak ada cacat dan celanya dan sejalan dengan ajaran islam. Pada zaman sekarang ini,pengertian perantara sudah lebih meluas lagi, sudah bergeser kepada jasa pengacara, jasa konsultan, tidak lagi hanya sekedar mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak hanya menemukan barang yang di cari dan menjualkan barang saja. Dengan demikian imbalan jasanya juga harus di tetapkan bersama terlebih dahulu, Apalagi nilainya dalam jumlah yang besar. Biasanya kalau nilainya besar, ditangani lebih dahulu perjanjiannya di hadapan notaris.(Hasan, 1997: 88)

B. Hukum Makelar menurut Islam
Pekerjaan makelar menurut pandangan islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu perjanjian memanfaatkan suatu barang atau jasa, misalnya rumah atau suatu pekerjaan seperti pelayan, jasa pengacara, konsultan, dan sebagainya dengan imbalan. Karena pekerjaan makelar termasuk ijarah, maka untuk sahnya pekerjaan makelar ini, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
 Persetujuan kedua belah pihak, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 29 Allah Swt berfirman
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa’ : 29). (Depag RI, 2005)
Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan
Obyek akad bukan hal-hal maksiat atau haram. ((Zuhdi, 1993: 121-122)
Makelar harus bersikap jujur, ikhlas, terbuka, tidak melakukan penipuan dan bisnis yang haram maupun yang syubhat. Imbalan berhak diterima oleh seorang makelar setelah ia memenuh akadnya, sedang pihak yang menggunakan jasa makelar harus memberikan imbalannya, karena upah atau imbalan pekerja dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja yang bersangkutan. (Tjiptoherijanto, 1997: 100)
Jumlah imbalan yang harus diberikan kepada makelar adalah menurut perjanjian sebagaimana Al Qur’an surat Al Maidah ayat 1 Allah Swt berfirman :
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”(Qs. Al-Maidah :1)
Menurut Dr. Hamzah Ya’kub bahwa antara pemilik barang dan makelar dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang di peroleh pihak makelar. Boleh dalam bentuk prosentase dari penjualan, dan juga boleh mengambil dari kelebihan harga ysng di tentukan oleh pemilik barang. (Mujtaba, 2007: 240) Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam yaitu:
1. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap pembeli
2. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap penjual. (Ad-duwaisyi, 2004: 124)
Adapun hukum makelar atau perantara ini menurut pandangan ahli hukum islam tidak bertentangan dengan syari’at hukum islam. Imam Al Bukhori mengemukakan bahwa : Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim, dan Al Hasan memandang bahwa masalah makelar atau perantara ini tidak apa-apa. Menurut pendapat Ibnu Abbas : bahwa tidak mengapa, seseorang berkata “juallah ini bagiku seharga sekian, kelebihannya untukmu”. (Pasaibu, 1994: 43) Sejalan dengan pandangan para fuqaha’ tersebut,apabila kita kembali pada aturan pokok, maka pekerjaan makelar itu tidak terlarang atau mubah karena tidak ada nash yang melarangnya.
Jual Beli Kredit (sell or buy on credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai’ bit Taqsith yang pengertiannya menurut istilah syari’ah, ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai. (Syarah Majalah al-Ahkam, no 157, vol III/110, Majallah asy-Syari’ah wad Dirasah Al-Islamiyah, Fak Syari’ah, Kuwait University, edisi VII, Sya’ban 1407, hal. 140, Al-Maurid, hal. 354, Lisanul ‘Arab, vol VII/377-378)
Jumhur ulama membolehkan praktik jual beli kredit (bai’ bit Taqsith) tanpa bunga, diantaranya adalah Imam Al-Khathabi dalam Syarh Mukhtashar Khalil (IV/375), Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Fatawa (XXIX/498-500), Imam Syaukani dalam Nailul Authar (V/249-250), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni dengan menukil pendapat Thawus, Hakam dan Hammad yang membolehkannya (IV/259).
Demikian pula ulama mutakhirin seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam majalah al-Iqtishad al-Islami, I/42 no. 11 th. 1402H dimana beliau mengatakan: “Saya pernah ditanya tentang hukum jual-beli sekarung gula pasir dan sebagainya, yang dicicil sampai pada waktu yang telah ditentukan dengan ketentuan harga yang lebih tinggi daripada kontan. Maka saya jawab, mu’amalah ini sah. Sebab jual-beli kontan berbeda dengan jual-beli kredit, sementara seluruh umat Islam mengamalkan mu’amalah ini. Jadi, mereka telah sepakat atas bolehnya jual-beli ini.” Syekh Abdul Wahhab Khallaf seperti dimuat dalam majalah Liwa’ul Islam, no. 11 hlm. 122 juga memandangnya halal
Fatwa Muktamar pertama al-Mashraf al-Islami di Dubai yang dihadiri oleh 59 ulama internasional, fatwa Direktorat Jenderal Riset, Dakwah dan Ifta’ serta Komisi Fatwa Kementrian Waqaf dan Urusan Agama Islam Kuwait semua sepakat bahwa tidak ada larangan bagi penjual menentukan harga secara kredit lebih tinggi daipada ketentuan harga kontan. Penjual boleh saja mengambil keuntungan dari penjualan secara kredit dengan ketentuan dan perhitungan yang jelas. (Majalah asy-Syari’ah Kuwait, Rajab 1414, hlm.264, Majalah al-Iqtishad al-Islami, I/3 th 1402, hlm. 35, Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, no. 6 Rabi’ Tsani, 1403H, hlm.270)
Dalil syari’ah dalam membolehkan akad jual-beli kredit (bai’ bit taqsith) diambil dari dalil-dalil al-Qur’an yang menghalalkan praktik bai’ (jual-beli) secara umum, diantaranya firman Allah: “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah:275) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (al-Baqarah:282)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An-Nisa’:29)
Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut:
1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli.
2. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai’ gharar, ‘bisnis penipuan’.
3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai’ muththarr, ‘jual-beli dengan terpaksa’ yang dikecam Nabi saw
Menganai pertanyaan tentang jual-beli mobil secara kredit yang banyak dilakukan orang dengan bunga tertentu, fatwa direktorat jenderal riset, dakwah dan ifta’ menjelaskan bahwa jika dalam jual-beli kredit terdapat kenaikan harga (bunga) lantaran terlambatnya pelunasan dari pihak pembeli, maka menurut ijma’ ulama tidak sah, karena di dalamnya terkandung unsur riba jahiliyah yang diharamkan Islam. (Majalah al-Buhuts al-islamiyah, no. 6 Th. 1403, hlm 270)
Kalaupun terpaksa harus membeli secara kredit dari penjual barang yang memberlakukan sistem bunga ini, maka pembeli realitasnya harus yakin mampu mencicil dan melunasinya tepat waktu tanpa harus terjerat pembayaran bunga tunggakan, agar terhindar dari laknat rasulullah karena membayar uang riba.
Kartu kredit pada hakekatnya sebagai sarana mempermudah proses jual-beli yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang sangat riskan. Status hukumnya menurut fiqih kontemporer adalah sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan). Perusahaan perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam transaksi jual beli. Oleh karena itu berlaku di sini hukum masalah ‘kafalah’.
Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam mu’amalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman: “dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72) Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “za’im” dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Sabda Nabi saw.: “az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban). Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya praktik kafalah karena lazim dibutuhkan dalam mu’amalah. (Lihat, Subulus Salam, III/62, Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj, II/98).
Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (suka rela) yang bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerjasama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Tetpi kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, maka sah sah saja. Tetapi jika penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya
Hal itu berdasarkan kaedah fiqih: “al-Hajah Tunazzal Manzilah Adz-Dzarurah” (kebutuhan dikategorikan sebagai suatu darurat). Bilamana keharusan uang jasa kafalah merupakan suatu kelaziman transaksi bisnis yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah, maka hal itu dibolehkan sesuai dengan kaedah; “Al-Ma’ruf Bainat Tujjar kal Masyruthi bainahum”; sesuatu yang lazim dikalangan bisnis merupakan suatu persyaratan yang harus ditepati. (al-Burnu, al-Wajiz, hlm. 306,242)
Tetapi bisnis jasa kartu kredit tersebut boleh selama dalam prakteknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak. Disamping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kerdit tertentu. (Lihat, DR. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161)
Dengan demikian dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (credit card) yang tidak memakai sistem bunga. Namun bila terpaksa atau tuntutan kebutuhan mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai ketentuan bunga, maka demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu kredit dengan keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan ekonominya mampu membayar utang dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu sebelum jatuh tempo agar tidak membayar hutang.
Hal itu berdasarkan prinsip fiqih ‘Saddudz Dzari’ah’, artinya sikap dan tindakan prefentif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud bahwa: “Rasulullah saw melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi transaksi ribawi dan penulisnya.” (HR.Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
C. Jual beli Terpaksa
Secara bahasa istilah Jual beli dapat diartikan secara sederhana, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad ). Sedangakan jual beli terpaksa merupakan suatu perbuatan yang dilarang dalam jual beli, sebab jika jual beli dilakukan secara paksa maka jual beli itu tidak sah karena salah satu dari kedua belah pihak ada yang disakiti.
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
[287] larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.
Dengan demikian ual beli yang dilakukan dengan cara paksa secara tidak langsung telah memakan harta saudaranya dengan cara yang bathil atau cara yang salah. Tentu jka dilakukan dengan cara paksaan maka dari hasil jual belinya itu juga haram untuk dimakannya, karerna dilakukan tidak secara ridhlo atau suka sama suka. Sedang dalam jual beli itu dilakukan oleh kedua bleah pihak dengan cara suka sama suka kemudian dilanjutka dengan adanya ijab qobul antara penjual dan pembeli maka jika jual beli dilakukan dengan terpaksa tentu ijab dan qobulnya juga tidak ada atau ada tapi terpaksa.
. Firman allah swt Q.S Al-Baqoroh ayat 185 :
š275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[176] riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Mengenai jua beli yang tidak diizinkan oleh agama, disini akan diuraikan beberapa cara saja sebagai contoh sebab timbulnya larangan ialah sebagai berikut :




1. Menyakiti sipenjual dan sipembeli atau orang lain




2. Menyempitkan gerakan pasaran




3. Merusak ketentraman umum










D. Ji’alah




Ji’alah ialah meminta agar mengebalikan barang yang hilang dengan baaran ang ditentukan. Misalnya seseorang kehilangan barang dia berkata, “ barang siapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku , aku bayar sekian.”




Rukun jialah




1. Lapadz




2. Orang yang menjanjikan upahnya




3. Pekerjaan ( mencari barang yang hilang )




4. Upah ( disayaratkan member upah dengan barang-barang yang tetentu )




Kalau orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum, “ siapa yang mendapatkan barangku akan aku beri uang sekian.” Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu , sampai keduanya menapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang djanjikan tadi berserikat antara keduanya




Yang membatalkan jialah




Masing-masing pihak boleh menghentikan perjanjian ( membaalkannya ) sebelum bekerja. Kalau yang membatalkannya orang yang bekerja, dia tidak mendapat upah, sekalipun dia sudah bekerja. Tetapi kalau yang membatalkannya adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan







BAB III




KESIMPULAN




Hablum minalloh, hablum minannas, pekerjaan yang berhubungan langsung dengan allah dan pekerjaan yang berhubungan dengan mansia satu sama lainnya, perlu ada aturan yang menjelaskan dan mengaturnya. Islam telah memberikan auturan yang sudah mutlak yaitu al-qur’an dan al hadits. Muamalah yaitu suatu urusan yang mengatur kehiduan dunia agar manusia berhubungan satu sama lainnya dengan jalan yang halal serta diridoi oleh allah swt.




Meskipun perkembangan perekonomian yang terus maju seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern, tetapi muamaah yang didasarakan pada ajaran islam harus tetap dipertahankan dan diamalakan

DAFTAR PUSTAKA




H. Sulaiman Rasjid. 1996. Fiqih Islam. Sinar Baru Algesindo




Ad-duwaisyi, Ahmad bin Abdurrazaq. 2004. Kumpulan Fatwa-fatwa Jual Beli.




Pustaka Imam Asy-syafi’i: Bogor




Mujtaba, Saifuddin. 2007. Masailul Fiqhiyah. Rousyan Fiqr: Jombang




Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masailul Fiqhiyah. CV. Haji Masagung: Jakarta




Marsam, Leonardo, Dkk. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Karya Utama:




Surabaya




Tjiptoherijanto, Prijono. 1997. Prospek Perekonomian Indonesia dalam Rangka




Globalisasi. Rineka Cipta: Jakarta





BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Allah swt menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lainnya, supaya mereka tolong menolong, tukar –menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli, sewa menyewa, bercocok tanam atau perusahaan yang lain-lain baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Sebagai mahluk social yang selalu hidup bermasyarakat, akan saling membutuhkan, saling membantu dalam segala urusan baik dunia maupun akhirat. Maka dalam hal ini islam memberikan suatu solusi didalam upaya memenuhi kehdupannya dengan jalan muamlah. Problematika social dan perdagangan mengantarkan kepada manusia untuk berlomba dalam muamalah yang harus didasarkan pada aturan yang telah ditetapkan allah dalam kitab suci al-qur’an agar mansia satu dengan yang lainnya tidak memakan harta sesamanya dengan cara yang bathil. Jual beli merupkan bagian dari muamalah yang sering kita lakukan dimana kita sedang membutuhkan satua sama lainnya. Dalam uapaya jual beli satu barang atau produk perlu adanya kerjasama antara pihak satu dengan pihak yang lainnya melalui pihak ketiga atau istilah yang popular ialah makelar atau perantara. Sebab seseorag tidak akan dapat sampai ketempat yang dituju jika kita tidak memakai perantara. Perantara itu lah yang sangat penting untuk diajak kerjasama dalam muamalah hal ini menunjukan bahwa kita sebagai mahluk social akan selalu membutuhkan satu sama lainnya. Maka kerjasama anatara pihak makelar itu harus dijalankan dengan benar agar terciptanya keharmonsan dalam muamalah.

B. Identifikasi masalah
Dari latar belakang tersebut ,maka masalah yang akan dbahas dalam makalah ini ialah :
Apa kegunaan dari makelar dalam jual beli !
Apa hukum jual beli teraksa dan apa pula yang dimaksud jialah


BAB II
PRAKTEK MAKELAR, JUAL BELI DAN JI’ALAH
A. Pengertian Makelar
Makelar dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perantara dalam bidang jual beli. Makelar berasal dari bahasa arab, yaitu samsarah yang berarti perantara perdagangan atau perantara antarapenjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. (Zuhdi, 1993: 121) Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah atau mencari keuntungan sendiri tanpa menanggung resiko. Dengan kata lain, makelar itu ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan terlaksananya jual beli tersebut. (Mujtaba, 2007: 239)
Dalam persoalan ini, kedua belah pihak mendapat manfaat. Bagi makelar (perantara) mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa dari hasil pekerjaannya itu. Demikian juga orang yang memerlukan jasa mereka, mendapat kemudahan, karena ditangani oleh orang yang mengerti betul dalam bidangnya. Pekerjaan semacam ini, mengandung unsur tolong menolong.  Dengan demikian pekerjaan tersebut tidak ada cacat dan celanya dan sejalan dengan ajaran islam. Pada zaman sekarang ini,pengertian perantara sudah lebih meluas lagi, sudah bergeser kepada jasa pengacara, jasa konsultan, tidak lagi hanya sekedar mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak hanya menemukan barang yang di cari dan menjualkan barang saja. Dengan demikian imbalan jasanya juga harus di tetapkan bersama terlebih dahulu, Apalagi nilainya dalam jumlah yang besar. Biasanya kalau nilainya besar, ditangani lebih dahulu perjanjiannya di hadapan notaris.(Hasan, 1997: 88)

B. Hukum Makelar menurut Islam
Pekerjaan makelar menurut pandangan islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu perjanjian memanfaatkan suatu barang atau jasa, misalnya rumah atau suatu pekerjaan seperti pelayan, jasa pengacara, konsultan, dan sebagainya dengan imbalan. Karena pekerjaan makelar termasuk ijarah, maka untuk sahnya pekerjaan makelar ini, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
 Persetujuan kedua belah pihak, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 29 Allah Swt berfirman
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa’ : 29). (Depag RI, 2005)
Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan
Obyek akad bukan hal-hal maksiat atau haram. ((Zuhdi, 1993: 121-122)
Makelar harus bersikap jujur, ikhlas, terbuka, tidak melakukan penipuan dan bisnis yang haram maupun yang syubhat. Imbalan berhak diterima oleh seorang makelar setelah ia memenuh akadnya, sedang pihak yang menggunakan jasa makelar harus memberikan imbalannya, karena upah atau imbalan pekerja dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja yang bersangkutan. (Tjiptoherijanto, 1997: 100)
Jumlah imbalan yang harus diberikan kepada makelar adalah menurut perjanjian sebagaimana Al Qur’an surat Al Maidah ayat 1 Allah Swt berfirman :
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”(Qs. Al-Maidah :1)
Menurut Dr. Hamzah Ya’kub bahwa antara pemilik barang dan makelar dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang di peroleh pihak makelar. Boleh dalam bentuk prosentase dari penjualan, dan juga boleh mengambil dari kelebihan harga ysng di tentukan oleh pemilik barang. (Mujtaba, 2007: 240) Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam yaitu:
1. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap pembeli
2. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap penjual. (Ad-duwaisyi, 2004: 124)
Adapun hukum makelar atau perantara ini menurut pandangan ahli hukum islam tidak bertentangan dengan syari’at hukum islam. Imam Al Bukhori mengemukakan bahwa : Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim, dan Al Hasan memandang bahwa masalah makelar atau perantara ini tidak apa-apa. Menurut pendapat Ibnu Abbas : bahwa tidak mengapa, seseorang berkata “juallah ini bagiku seharga sekian, kelebihannya untukmu”. (Pasaibu, 1994: 43) Sejalan dengan pandangan para fuqaha’ tersebut,apabila kita kembali pada aturan pokok, maka pekerjaan makelar itu tidak terlarang atau mubah karena tidak ada nash yang melarangnya.
Jual Beli Kredit (sell or buy on credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai’ bit Taqsith yang pengertiannya menurut istilah syari’ah, ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai. (Syarah Majalah al-Ahkam, no 157, vol III/110, Majallah asy-Syari’ah wad Dirasah Al-Islamiyah, Fak Syari’ah, Kuwait University, edisi VII, Sya’ban 1407, hal. 140, Al-Maurid, hal. 354, Lisanul ‘Arab, vol VII/377-378)
Jumhur ulama membolehkan praktik jual beli kredit (bai’ bit Taqsith) tanpa bunga, diantaranya adalah Imam Al-Khathabi dalam Syarh Mukhtashar Khalil (IV/375), Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Fatawa (XXIX/498-500), Imam Syaukani dalam Nailul Authar (V/249-250), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni dengan menukil pendapat Thawus, Hakam dan Hammad yang membolehkannya (IV/259).
Demikian pula ulama mutakhirin seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam majalah al-Iqtishad al-Islami, I/42 no. 11 th. 1402H dimana beliau mengatakan: “Saya pernah ditanya tentang hukum jual-beli sekarung gula pasir dan sebagainya, yang dicicil sampai pada waktu yang telah ditentukan dengan ketentuan harga yang lebih tinggi daripada kontan. Maka saya jawab, mu’amalah ini sah. Sebab jual-beli kontan berbeda dengan jual-beli kredit, sementara seluruh umat Islam mengamalkan mu’amalah ini. Jadi, mereka telah sepakat atas bolehnya jual-beli ini.” Syekh Abdul Wahhab Khallaf seperti dimuat dalam majalah Liwa’ul Islam, no. 11 hlm. 122 juga memandangnya halal
Fatwa Muktamar pertama al-Mashraf al-Islami di Dubai yang dihadiri oleh 59 ulama internasional, fatwa Direktorat Jenderal Riset, Dakwah dan Ifta’ serta Komisi Fatwa Kementrian Waqaf dan Urusan Agama Islam Kuwait semua sepakat bahwa tidak ada larangan bagi penjual menentukan harga secara kredit lebih tinggi daipada ketentuan harga kontan. Penjual boleh saja mengambil keuntungan dari penjualan secara kredit dengan ketentuan dan perhitungan yang jelas. (Majalah asy-Syari’ah Kuwait, Rajab 1414, hlm.264, Majalah al-Iqtishad al-Islami, I/3 th 1402, hlm. 35, Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, no. 6 Rabi’ Tsani, 1403H, hlm.270)
Dalil syari’ah dalam membolehkan akad jual-beli kredit (bai’ bit taqsith) diambil dari dalil-dalil al-Qur’an yang menghalalkan praktik bai’ (jual-beli) secara umum, diantaranya firman Allah: “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah:275) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (al-Baqarah:282)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An-Nisa’:29)
Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut:
1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli.
2. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai’ gharar, ‘bisnis penipuan’.
3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai’ muththarr, ‘jual-beli dengan terpaksa’ yang dikecam Nabi saw
Menganai pertanyaan tentang jual-beli mobil secara kredit yang banyak dilakukan orang dengan bunga tertentu, fatwa direktorat jenderal riset, dakwah dan ifta’ menjelaskan bahwa jika dalam jual-beli kredit terdapat kenaikan harga (bunga) lantaran terlambatnya pelunasan dari pihak pembeli, maka menurut ijma’ ulama tidak sah, karena di dalamnya terkandung unsur riba jahiliyah yang diharamkan Islam. (Majalah al-Buhuts al-islamiyah, no. 6 Th. 1403, hlm 270)
Kalaupun terpaksa harus membeli secara kredit dari penjual barang yang memberlakukan sistem bunga ini, maka pembeli realitasnya harus yakin mampu mencicil dan melunasinya tepat waktu tanpa harus terjerat pembayaran bunga tunggakan, agar terhindar dari laknat rasulullah karena membayar uang riba.
Kartu kredit pada hakekatnya sebagai sarana mempermudah proses jual-beli yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang sangat riskan. Status hukumnya menurut fiqih kontemporer adalah sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan). Perusahaan perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam transaksi jual beli. Oleh karena itu berlaku di sini hukum masalah ‘kafalah’.
Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam mu’amalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman: “dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72) Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “za’im” dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Sabda Nabi saw.: “az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban). Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya praktik kafalah karena lazim dibutuhkan dalam mu’amalah. (Lihat, Subulus Salam, III/62, Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj, II/98).
Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (suka rela) yang bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerjasama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Tetpi kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, maka sah sah saja. Tetapi jika penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya
Hal itu berdasarkan kaedah fiqih: “al-Hajah Tunazzal Manzilah Adz-Dzarurah” (kebutuhan dikategorikan sebagai suatu darurat). Bilamana keharusan uang jasa kafalah merupakan suatu kelaziman transaksi bisnis yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah, maka hal itu dibolehkan sesuai dengan kaedah; “Al-Ma’ruf Bainat Tujjar kal Masyruthi bainahum”; sesuatu yang lazim dikalangan bisnis merupakan suatu persyaratan yang harus ditepati. (al-Burnu, al-Wajiz, hlm. 306,242)
Tetapi bisnis jasa kartu kredit tersebut boleh selama dalam prakteknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak. Disamping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kerdit tertentu. (Lihat, DR. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161)
Dengan demikian dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (credit card) yang tidak memakai sistem bunga. Namun bila terpaksa atau tuntutan kebutuhan mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai ketentuan bunga, maka demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu kredit dengan keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan ekonominya mampu membayar utang dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu sebelum jatuh tempo agar tidak membayar hutang.
Hal itu berdasarkan prinsip fiqih ‘Saddudz Dzari’ah’, artinya sikap dan tindakan prefentif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud bahwa: “Rasulullah saw melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi transaksi ribawi dan penulisnya.” (HR.Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
C. Jual beli Terpaksa
Secara bahasa istilah Jual beli dapat diartikan secara sederhana, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad ). Sedangakan jual beli terpaksa merupakan suatu perbuatan yang dilarang dalam jual beli, sebab jika jual beli dilakukan secara paksa maka jual beli itu tidak sah karena salah satu dari kedua belah pihak ada yang disakiti.
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
[287] larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.
Dengan demikian ual beli yang dilakukan dengan cara paksa secara tidak langsung telah memakan harta saudaranya dengan cara yang bathil atau cara yang salah. Tentu jka dilakukan dengan cara paksaan maka dari hasil jual belinya itu juga haram untuk dimakannya, karerna dilakukan tidak secara ridhlo atau suka sama suka. Sedang dalam jual beli itu dilakukan oleh kedua bleah pihak dengan cara suka sama suka kemudian dilanjutka dengan adanya ijab qobul antara penjual dan pembeli maka jika jual beli dilakukan dengan terpaksa tentu ijab dan qobulnya juga tidak ada atau ada tapi terpaksa.
. Firman allah swt Q.S Al-Baqoroh ayat 185 :
š275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[176] riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Mengenai jua beli yang tidak diizinkan oleh agama, disini akan diuraikan beberapa cara saja sebagai contoh sebab timbulnya larangan ialah sebagai berikut :




1. Menyakiti sipenjual dan sipembeli atau orang lain




2. Menyempitkan gerakan pasaran




3. Merusak ketentraman umum










D. Ji’alah




Ji’alah ialah meminta agar mengebalikan barang yang hilang dengan baaran ang ditentukan. Misalnya seseorang kehilangan barang dia berkata, “ barang siapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku , aku bayar sekian.”




Rukun jialah




1. Lapadz




2. Orang yang menjanjikan upahnya




3. Pekerjaan ( mencari barang yang hilang )




4. Upah ( disayaratkan member upah dengan barang-barang yang tetentu )




Kalau orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum, “ siapa yang mendapatkan barangku akan aku beri uang sekian.” Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu , sampai keduanya menapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang djanjikan tadi berserikat antara keduanya




Yang membatalkan jialah




Masing-masing pihak boleh menghentikan perjanjian ( membaalkannya ) sebelum bekerja. Kalau yang membatalkannya orang yang bekerja, dia tidak mendapat upah, sekalipun dia sudah bekerja. Tetapi kalau yang membatalkannya adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan







BAB III




KESIMPULAN




Hablum minalloh, hablum minannas, pekerjaan yang berhubungan langsung dengan allah dan pekerjaan yang berhubungan dengan mansia satu sama lainnya, perlu ada aturan yang menjelaskan dan mengaturnya. Islam telah memberikan auturan yang sudah mutlak yaitu al-qur’an dan al hadits. Muamalah yaitu suatu urusan yang mengatur kehiduan dunia agar manusia berhubungan satu sama lainnya dengan jalan yang halal serta diridoi oleh allah swt.




Meskipun perkembangan perekonomian yang terus maju seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern, tetapi muamaah yang didasarakan pada ajaran islam harus tetap dipertahankan dan diamalakan

DAFTAR PUSTAKA




H. Sulaiman Rasjid. 1996. Fiqih Islam. Sinar Baru Algesindo




Ad-duwaisyi, Ahmad bin Abdurrazaq. 2004. Kumpulan Fatwa-fatwa Jual Beli.




Pustaka Imam Asy-syafi’i: Bogor




Mujtaba, Saifuddin. 2007. Masailul Fiqhiyah. Rousyan Fiqr: Jombang




Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masailul Fiqhiyah. CV. Haji Masagung: Jakarta




Marsam, Leonardo, Dkk. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Karya Utama:




Surabaya




Tjiptoherijanto, Prijono. 1997. Prospek Perekonomian Indonesia dalam Rangka




Globalisasi. Rineka Cipta: Jakarta